Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lari dari Rumah




Sejak kecil aku terbiasa dengan gelap. Ya, gelap. Tepatnya ruang kecil bernama kamar mandi yang pintunya dikunci dari luar kemudian lampunya dimatikan. Aku menangis. Sesekali sekadar sedu sedan, kerap pula sampai meraung. Panik. Takut. Itulah buah ketidaktaatan. Sejak kecil, jika orangtua perlu memberiku hukuman, maka hukumannya adalah gelap. Dijebloskan ke kamar mandi, dikunci dari luar, lampunya dimatikan.

Seharusnya ada efek jera setelah melakukan aktivitas yang dianggap keterlaluan, kemudian dihukum dimasukkan ke dalam gelap. Tapi hukuman itu gagal. Aku malah tumbuh menjadi pembangkang. Sewaktu ketahuan merokok padahal baru saja tamat SD, aku hanya takut sebentar saja. Beberapa hari kemudian merokok lagi. Tak bisa merokok sendirian di dalam kamar, pindah lokasi bersama beberapa orang teman merokok di semak belukar.

Semakin besar, aku punya aktivitas baru. Lari dari rumah. Tak bisa lagi aku ditangkap lalu dimasukkan ke dalam kamar mandi. Aku memilih lari. Tak pulang berhari-hari. Tidur berpindah-pindah dari rumah teman yang satu ke teman lain. Begitu terus sampai akhirnya saudaraku menjemput ke sekolah. Lalu aku pulang. Dimarahi. Dinasihati. Mengangguk sebentar. Terus lari lagi.

Teori-teori tentang ketaatan yang didapat dalam ruang-ruang sekolah, gagal merasuk dalam pikiran untuk kemudian diamalkan. Belum lagi lingkungan mendukung. Sistem mendukung. Puncaknya, ketika tamat SMA, berkesempatan meninggalkan Pontianak menuju ke Jogjakarta, di situlah aplikasi dari ketidaktaatan merajalela.

Sekarang, setelah bertahun-tahun kemudian aku berada di Bulgaria. Di negeri yang bahkan memimpikannya saja tak pernah. Tiba-tiba saja aku disergap rindu. Kenangan akan ketidaktaatan di masa lalu menggedor-gedor relung hati. Perjalanan ini telah begitu jauh.

Pertemuan dengan Pak Krassin menurutku bukan suatu kebetulan. Pada akhirnya aku dipaksa untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di masa lalu. Tentang kebengisan. Tentang penjajahan. Apakah ini buah dari ketidaktaatan, sehingga bisa saja agama yang disandang bernama Islam, tapi perangai tak bisa dipertanggungjawabkan.

Jawabannya adalah opini yang dipaksakan untuk masuk ke kepala masing-masing kita. Kita sudah terlalu lama berada dalam cengkraman sekulerisme. Sehingga untuk yang begini-begini kita terima saja sebagai konsekuensi logis dari kehidupan.

Ternyata, rusaknya citra Islam tak hanya kudengar dari Pak Krassin. Agama ini begitu buruk di mata mereka. Dan anehnya, sebagian besar dari kita menyetujuinya.

Di tengah kota Sofia ada sebuah gereja yang berdiri cukup megah. Namanya Sveti Sedmochislenitsi Church. Berada di taman yang rimbun, gereja ini didedikasikan untuk St. Cyrirl dan Methodius dua orang bersaudara yang merupakan teolog Bizantium. Kedua orang ini kemudian menjadi begitu terkenal bahkan dianggap setara dengan rasul karena telah merancang alfabet Glagolitic, alfabet pertama yang digunakan untuk menuliskan huruf Slavonic kuno. Kalau kau bingung dengan apa yang kuceritakan, kau bayangkan saja huruf-huruf yang ada di negara Rusia, Bulgaria, Serbia, serta beberapa negara Balkan lainnya. Hari ini deretan abjad tersebut dikenal dengan nama huruf Cyrillic.

Gereja Sveti Sedmochislenitsi resmi digunakan pada tahun 1903. Agar orang-orang terus menerus mengenang santo Cyrril dan Methodius. Karena dengan alphabet inilah kemudian alkitab diterjemahkan dan orang-orang Slavia bisa membacanya kemudian diharapkan bisa taat memeluk Kristen. Kebudayaan pun berubah. Mereka seolah menemukan identitasnya.

Padahal hampir 400 tahun sebelumnya, bangunan ini adalah masjid. Dibangun dimasa pemerintahan Sulaiman Al Qanuni saat Islam begitu jaya di Bulgaria. Ini adalah Khalifah yang namanya terdengar di seluruh dunia. Di Barat, dia dikenal dengan istilah Sulaiman The Magnificien. Sulaiman yang Agung. Masjid tersebut merupakan salah satu bukti keagungannya yang tentu saja merupakan buah dari ketaatan kepada pencipta.

Dikenal dengan nama Masjid Hitam sebab menaranya terbuat dari batu granit bernama hitam. Di wilayah masjid ada sekolah untuk orang-orang belajar Ilmu pengetahuan. Ada juga dapur umum untuk orangmiskin. Tapi semenjak Utsmani tak lagi punya kuasa di Bulgaria, tempat ini berubah fungsi menjadi penjara. Hingga pada akhirnya diubah lagi menjadi gereja.

Setelah masa Sulaiman Al Qanuni, kekhilafahan Utsmani memang melemah. Terjadi kekalahan dan kemerosotan di banyak tempat. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktaatan. Syariat mulai ditinggalkan. Banyak pejabat hidup dalam gelimang kemewahan. Tradisi barat yang dianggap menyenangkan diadopsi untuk kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya mereka benar-benar terusir dari Bulgaria. Beberapa waktu  masih berkuasa di Turki, tanah asalnya. Tapi tak lama. Kekuasaan itu harus diberikan kepada pecundang bernama Kemal Pasha. 1924. Tutup riwayat.

Di Sofia, Bulgaria, hari-hari yang kulakukan adalah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menyandang gelar lari dari rumah,bukannya aku mendekat pada ketaatan, malah sebaliknya. Bersembunyi di balik kesan gagah seorang pengembara, padahal begitu lemah di hadapan sang pencipta. Tak berdaya.

Kakiku terus melangkah. Semakin hari semakin akrab dengan dingin. Hingga di sebuah sore, bertemu dengan sebuah taman kota yang begitu luas. Di ujung pandangan, mataku menabrak sebuah monumen yang lumayan tinggi. Aku mendekat. Ada beberapa patung tentara. Juga ada patung seorang wanita menggendong bayinya. Inilah monumen yang kemudian terus diingat-ingat warga masyarakat. Masuk ke dalam pelajaran sekolah. Dipaksa agar tiap orang melupakan kemegahan The Black Mosque yang sudah hadir sejak masa Sulaiman yang Agung. Momument itu diberinama Pametnik na Savetskata armia, Monumen yang didedikasikan untuk tentara Soviet.

Selamat datang era baru di Sofia.

Posting Komentar untuk "Lari dari Rumah"