Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Darimana Rindu ini Bermula

Seketika air mata tumpah. Gejolak dalam dada tak beraturan. Ini adalah kerinduan tanpa umpama. Ditahan sedemikian rupa dalam kurun waktu yang begitu lama. Sungguh, saya tak kuat. Padahal kami belum sampai pelataran masjid. Di tikungan terakhir, mata ini tepat berhadapan dengan masjid bersejarah itu. Bukan legenda, tapi fakta. Bahwa inilah titik mula gerakan dakwah Nabi Muhammad yang kemudian, tak membutuhkan waktu lama Islam tersebar ke berbagai sudut bumi. 


Masjid Nabawi. Kami sampai di hotel kurang lebih pukul dua dini hari. Setelah perjalanan panjang. Sehari sebelumnya kami menginap di Colombo, Srilanka. City tour sebentar, kemudian lanjut terbang dan mendarat di Jeddah. 


Mutawif menyampaikan agar kita bisa bersegera sebab kita belum sholat magrib dan isya. Cukup simpan koper di kamar yang telah dibagi, kemudian kembali berkumpul di lobby. Di pelataran hotel, hawa hangat Madinah waktu dini hari terasa. Saya menikmatinya sebagai perwujudan rindu. Sejak dari hotel saya sudah berdebar-debar. Kata tour leader, lokasi masjid tak jauh dari sini. Saya tak sabar. 


Sekeliling masjid, hotel dan toko-toko berjejer. Karena ini dini hari, banyak toko masih tutup. Tapi hotel-hotel di sekitar tetap aktif. Bus bus pengangkut penumpang datang dan pergi. Jamaah dari Indonesia terlihat khas dengan seragam batiknya. 


Jamaah kami sudah siap. Jumlahnya dua puluh empat. Mutawif dan tour leader di depan, kami semua mengikuti. Selanjutnya langkah-langkah kami akan menjelma memori yang begitu menawan. Ya, sebagian besar di antara kami baru pertama kali jejak di sini. Perasaan bercampur aduk. Sedih bahagia saling bergumul. 


Dalam perjalanan singkat menuju masjid, angin menampar-nampar pipi. Hawa hangatnya terasa hingga sanubari. Di kejauhan cahaya terang menyambut lembut. Seolah berkata, selamat datang di Masjid Nabi. Saya tak kuat. Bibir gemetar. Beberapa kali mengusap mata yang mulai basah. Mencoba tegar agar tak ketahuan jamaah lain. Tapi tak kuat. 


Kami hanya di pelataran. Sungguh ini masjid yang begitu luas. Belum tau isi dalamnya seperti apa. Kata tour leader, kita akan sholat di sini, di pelataran ini. Sholat isya jamak takhir. Nanti lanjut tahajud. Setelah itu jamaah dibebaskan, mau kembali ke kamar hotel istirahat sebentar menunggu subuh, atau mau langsung itikaf di dalam masjid disilakan. 


Allahu Akbar. Saat takbiratul ihram, pipi saya langsung basah. Saya benar-benar rindu. Ini air mata yang sama yang saya rasakan saat awal mula taubat beberapa tahun lalu. Waktu itu, setelah puluhan tahun malang melintang di dunia yang penuh maksiat, saya memutuskan untuk bertobat. 


Kembali saya buka buku-buku tentang sholat. Saya tonton beberapa kajian di youtube tentang ibadah utama ini. Betul-betul saya persiapkan diri. Juga diskusi dengan beberapa kawan sebagai penguat. Ya, mantap menuju jalan pertobatan. Saya sholat, saya berdoa, saya menangis. 


Kali ini, di pelataran masjid Nabawi, air mata saya kembali tumpah. Ah, tak sanggup saya cerita gejolak perasaan ini. 


“Nanti kalau sudah sampai masjid Nabawi, coba datang satu jam sebelum sholat subuh. Terus pergi ke lokasi dekat Raudhoh. Terus saja ke depan. Siapa tau bisa dapat Raudhoh.” Ini nasehat teman saya beberapa waktu lebih berangkat. Namanya Haris, dia lebih dulu berangkat beberapa bulan sebelum saya. 


Tapi dini hari itu saya tak tau di mana itu raudhoh. Saya berpisah dengan jamaah lain. Orang-orang sudah terlalu ramai. Padahal sholat subuh masih lama. Saya ikut saja orang-orang yang terus merangsek masuk ke dalam. Di mana bagian depan? Ah rasa-rasanya saya gagal bertemu dengan Raudhoh di hari pertama kedatangan. 


Cukup di sini saja, saya membatin saat menemukan tempat agak longgar. Rasa haru terus menggebu. Saya sholat dua rakaat. Sholat masuk masjid. Setelah itu membaca quran. Lalu kembali menangis. Ah, betapa mellow hati ini. Saya berdiri lagi. Sholat lagi dua rakaat. Sholat tobat. Selesai salam, berdoa meminta ampun. Terisak. 


Kamu pernah sujud di Masjid Nabawi? Bohong kalau tidak rindu. Tapi kerinduan ini tak hanya milik mereka yang sudah sampai ke sana, bagi yang belum juga memiliki hak yang sama. 


Pelan-pelan, akan saya ceritakan dari mana kerinduan ini bermula 


Salam
Teman Perjalananmu




Posting Komentar untuk "Darimana Rindu ini Bermula"