Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Agar Mimpi Tak Sekadar Khayalan

2008 adalah momentum awal bagi saya untuk pada akhirnya memiliki mimpi agar bisa keliling dunia. 


Dulu, jauh sebelum ini, cita-cita saya tak lebih dari sekadar menjadi seniman. Bisa menulis puisi, cerpen, atau pun pentas drama dari panggung ke panggung. Rasanya kalau dari kumpulan tulisan yang berserakan bisa disatukan dalam bentuk buku, pastinya akan sangat membahagiakan. Meski pada waktu itu saya tak tau bagaimana caranya. 


2005 saya kembali ke tanah lahir, Pontianak. Suatu hari di Toko Buku Gramedia, saya menemukan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh teman saya ketika di Jogja. Buku itu benar-benar membuat saya merasa perlu mewujudkan mimpi. Buku itu menjadi penyemangat nyata. 


“Sialan, dia sudah bikin buku,” serapah saya dalam hati. 


Selama ini karya-karyanya hanya terbit di koran-koran, sekarang sudah jadi buku dan dijual di Gramedia seluruh Indonesia. Pokoknya saya juga harus bisa. Begitulah salah satu motivasi mewujudkan mimpi. Agar tak melulu berupa mimpi yang malah menjurus ke khayalan, setidaknya pencapaian orang lain bisa menjadi motivasi berharga untuk diri sendiri. 


Di Pontianak, saya kontak beberapa kawan sastrawan. Dari diskusi kedai kopi yang kerap kami lakukan, muncul kesimpulan bahwa warga Pontianak masih cukup berat diterima di kancah penerbitan nasional. Jika ada beberapa karya sastra yang terbit di koran minggu Jakarta, selain karyanya cukup bagus tentu saja ada faktor keberuntungan. Tapi kalau mengirimkan karya ke penerbit mayor di Jakarta lalu dengan serta merta diterima dan diterbitkan kemudian kita ongkang-ongkang kaki mendapat royalti, beuh, jauh panggang daripada api. 


Akhirnya kami cari alternatif. Kebetulan di tahun itu, secara nasional sedang ramai-ramainya para penulis ingin menerbitkan bukunya sendiri. Maka rapat dilakukan. Kami bertiga, bersepakat untuk menerbitkan buku indie, sebuah kumpulan cerpen. Beberapa waktu kemudian terwujud. Beredar luas di masyarakat Kalimantan Barat. Khususnya para pelajar SMA dan kalangan seniman. Sungguh, waktu itu rasa senang dan bangga bercampur aduk. Mimpi itu terwujud. 


Episode selanjutnya adalah menerbitkan kembali buku indie. Berbagai agenda digelar. Launching, roadshow ke sekolah-sekolah, seminar mulai dari yang formal hingga diskusi kelas kedai kopi. Diliput wartawan. Bertemu jejaring perkawanan baru. 


Dari yang awalnya circle pertemanan berkutat ke taman-teman seniman, meluas ke para wartawan. Lanjut dikenalkan dengan teman-teman aktivis gerakan. Warung kopi jadi pemersatu di antara kami. Pada tahap inilah perkenalan dengan orang-orang asing terjadi. 


2008, setelah beberapa buku berhasil diterbitkan, saya punya mimpi yang baru. Bisa keliling dunia. Kejadiannya waktu itu di sebuah vila di kawasan Seminyak Bali. Kami duduk beberapa orang. Saya satu-satunya warga negara Indonesia. Yang lain ada dari Kanada juga Perancis. 


Percakapan yang terjadi berkutat, sudah kemana saja kamu selama ini. Ini percakapan yang mahfum di kalangan para traveler. Mereka yang dari Eropa juga Amerika, sebagian ada yang bersusah payah mengumpulkan uang di negaranya, kemudian mengambil liburan panjang untuk bisa keliling ke negara-negara murah seperti Asia. Atau ada juga yang memilih bekerja di Asia, bisa sebagai expatriat, mengajar bahasa Inggris, atau menjadi volunter kemanusiaan di dunia ketiga. 


Aktivitas ini mengakibatkan terjadinya interaksi dengan penduduk lokal. Interaksi ini mampu menginfluence masyarakat Asia untuk juga bisa menyandang gelar traveler. Maka komunitas traveler antar  negara bermunculan merata-rata. Dalam waktu singkat semua orang merasa butuh untuk bisa keliling dunia. 


Begitulah, percakapan antar traveler juga membuat saya juga ingin menjadi traveler. Dimulai dari Bali, saya berpindah ke Jogjakarta, berpindah ke Jakarta, kembali ke Pontianak dengan mindset yang baru. Keliling dunia. Tapi bagaimana caranya? 


Teman Perjalananmu

Pay Jarot Sujarwo


Posting Komentar untuk "Agar Mimpi Tak Sekadar Khayalan "