Polpot Sudah Mati
Imajinasi oleh Pay Jarot Sujarwo
Matanya liar. Mengincar para pejalan kaki. Sesekali ia memanjangkan leher. Menoleh ke belakang. Berpaling ke kiri juga ke kanan. Ia menemukan seorang lelaki berdiri tepat di persimpangan. Khusuk dengan peta, mencari arah. Lelaki itu, di punggungnya menempel tas berukuran begitu besar. Kacamata hitam melindungi dua matanya dari panas matahari. Keringat menempel di kening. Setetes jatuh di atas peta yang sedang dibaca. Sisanya ia seka dengan lengan kiri. Lelaki itu menghela nafas, mengarahkan tatapannya ke jalan raya.
“Wooo…, Man… Brother…” Ia tak menyianyiakan kesempatan. Sudah sejak tadi ia menunggu lelaki itu berpaling dari peta. Beberapa detik saja lelaki melihat ke arah jalan raya, ia langsung berteriak kea rah lelaki.
“Wooo… you need tuk-tuk, man? Bro…? Sir…? Tuk-tuk?” Ia berteriak. Wajahnya mengiba. Seperti mencoba menceritakan bahwa sepanjang hari ini belum mendapatkan penumpang. Lelaki yang diteriaki tak hirau. Matanya kembali ke peta setelah sekali lagi menyeka keringat.
“Sir, where you go? Tuk-Tuk? Where you from? Wooo…. Bro?”Ia tak henti berteriak. Lelaki pembawa peta dan tas besar di punggungnya pergi. Ia mengumpat. Umpatan yang hanya dimengerti oleh orang-orang Khmer.
Ia masuk ke dalam tuk-tuk miliknya. Berlindung dari panas matahari. Duduk di bagian belakang, tempat para penumpang. Ada radio kecil tergantung di salah satu sisi tuk-tuk. Barangkali, radio itu berusia lebih tua dibanding usianya. Disentuhnya sedikit, lagu Khmer mengalun. Hari ini orang-orang bisa dengan bebas mendengar radio,menonton televisi, ikut berjoget mengikuti nada dan irama Khmer, ataupun juga dentuman music dari belahan dunia sebelah barat. Orang-orang bisa sedikit bersantai, meski mencari uang tetap saja bukan pekerjaan gampang. Tapi kabar baiknya orang-orang sudah tidak merasa takut lagi. Tak seperti zaman ketika Pol Pot masih hidup. Khmer Merah. Lebih dari dua juta nyawa melayang dalam kurun waktu yang begitu singkat. Satu lagu berakhir, ia belum juga dapat penumpang.
Ia turun dari tuk-tuk. Bersiap kembali dengan mata yang liar. Tiba-tiba saja tiga orang perempuan yang tak lagi muda melintas. Seorang di antaranya mengalungkan kamera dengan lensa yang begitu panjang. Dua orang lain bercakap-cakap dalam bahasa seperti Rusia, atau mungkin juga Kroasia.
Ia tak membuang waktu.
“Halo, where you go?”
Tiga perempuan itu menoleh.
“We just want to walk around,”seseorang menjawab. Bahasa Inggrisnya terdengar khas dengan logat Eropa timur.
“Where you from?” Ia mencoba bercakap-cakap
“Czech,”
“Where is that?”
Seorang perempuan mencoba menjelaskan dengan ramah letak geografis negaranya. Seorang lagi memotret. Merekam percakapan menjadi gambar. Ia mengangguk-angguk. Belum tentu ia mengerti. Bisa jadi ia tak peduli. Yang ia inginkan hanyalah ketiga perempuan itu naik ke dalam tuk-tuk, lalu dengan senang hati ia akan mengantar setelah ada kesepakatan harga.
“Tuk-tuk, madam?” akhirnya. Setelah perempuan berhenti berbicara, ia menawarkan jasa.
“Where you go? Angkor Wat? Cheap, very cheap madam,”wajahnya kembali mengiba.
Tiga perempuan meminta maaf. Lalu pergi.
Ia kembali mengumpat dalam bahasa Khmer. Pol Pot sudah mati. Khmer merah tinggal sejarah. Turisme semakin merajalela. Pub Street tak pernah sepi. Selalu gemuruh. Ia, juga orang-orang lain, masih tetap miskin. Akan selalu miskin?
Ia kembali masuk ke dalam tuk-tuk. Merebahkan diri. Menutup mata. Barangkali bermimpi tentang anaknya yang sekolah hingga tingkat yang paling tinggi. Sangat tinggi.
“Hallo, tuk-tuk.” Seseorang mengagetkannya. Seorang perempuan kulit putih. Sepertinya mabuk berat. Hari masih siang. Perempuan ini begitu mabuk. Ia melompat. Bersemangat. Penumpang pertama hari ini.
“Where you go?” ia bertanya.
“Can you take me to heaven?”
Siem Reap, Februari 2015
Sastrawan ini memang piawai melihat sisi unik.... Dan uniknya, menuturkannya dengan deras... Tuk-tuk
BalasHapus