Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berpisah dengan Nguyen


Persis di sebelah Masjid ada kedai kopi. Nguyen bilang bahwa mereka akan menunggu di kedai kopi sembari membiarkan saya masuk. Sholat zuhur.


Seperti masjid sebelumnya, warna hijau juga dominan di sini. Bulan sabit dan bintang menghiasi kubah. Sekali lagi, nyaris tak beda dengan bangunan masjid di Indonesia. Di kiri kanan halaman terdapat deretan bangku dari semen. Saya mantap masuk ke dalam. Menuju tempat wudhu. Bersyukur penuh haru.


Ada banyak orang yang sudah bersiap berjamaah. Laki-laki saja. Tak saya lihat perempuan. Sebagian besar jamaah lelaki ini berpakaian gamis terusan. Satu dua orang memakai sarung. Peci putih. Rata-rata berusia lanjut. Kemana anak mudanya? Pertanyaan ini hanya saya lontarkan dalam hati.


Seusai sholat, saya menyengaja untuk duduk di masjid, tak langsung kembali ke rombongan Nguyen di kedai kopi. Sebab di Masjid inilah harapan akan mendapatkan informasi. Setelah ini Nguyen bersama teman-temannya akan pergi ke tempat lain.


Saya menyadari menjadi pusat perhatian. Wajar. Namanya juga orang asing. Ketika mata saya beradu tatap dengan mata orang-orang yang menancapkan pandangannya ke arah saya, selengkung senyum saya lontarkan. Mata berbalas mata. Senyum berbalas senyum. Seperti yang saya duga, tak membutuhkan waktu lama seseorang menghampiri.


“Dari mana?” lelaki ini bertanya dengan Bahasa Melayu fasih.


“Indonesia,” jawab saya sambil menyalami tangannya. Lelaki ini langsung duduk di hadapan saya. Sungguh, ia sangat ramah. Masih belum saya tanya darimana ia belajar Bahasa Melayu. Sebab dia masih sibuk memosisikan diri sebagai tuan rumah yang kedatangan tamu. Percakapan awal tentang ‘dari mana hendak kemana’ sukses menjadi pembicaraan seperti dua teman akrab.


“Tapi teman-teman saya menunggu di kedai kopi sebelah,” saya menyela.


“Oh, mari kita ke sana. Orang-orang di sini memang kebiasaannya selepas sholat duduk di kedai kopi,” lelaki itu bersemangat.


Benar katanya, lebih dari separuh jamaah yang tadi berada di dalam masjid sekarang berpindah ke kedai kopi. Tapi sebagian besar di antara mereka berbahasa Vietnam. Tak mengapa. Saya lumayan menikmati. Suara orang-orang di kedai kopi seperti dengung lebah.


Pertama saya temui Nguyen dan teman-temannya. Saya katakan bahwa mereka bisa pergi. Saya aman ditinggal di tempat ini. Bertemu orang-orang Islam yang ramah dan tidak punya bom, seloroh saya. Nguyen tertawa. Merasa bersalah atas klaimnya terhadap muslimin di malam pertama jumpa.


Ya, saat ini Nguyen dan beberapa teman Vietnamnya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Puluhan lelaki beragama Islam dengan gamis dan sarung saling bercanda satu sama lain. Gaya bapak-bapak kopi. Candaan itu dimengerti oleh Nguyen dan ia sadar betul bahwa apa yang dipercakapkan tak sedikit pun mengarah ke aksi teror. Sebagai orang asing, Nguyen dan teman-temannya tak perlu merasa khawatir.


Nguyen pamit. Sebelum pamit ia memaksa saya untuk menghubunginya jika nanti kembali ke Saigon.


“Tentu saja saya akan menghubungimu, kan pakaian kotor saya masih tertinggal di rumahmu,” kata saya. Kami tertawa. Tertawa yang renyah. Tertawa dua orang kawan. Bukan lawan yang sepanjang malam berdebat tentang Tuhan itu tidak ada dan agama sebagai sumber kebodohan.


Salam

Pay Jarot Sujarwo


ig: @payjarotsujarwo 

Join channel telegram: t.me/payjarot

Posting Komentar untuk " Berpisah dengan Nguyen"