Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masjid Jamiul Azhar


Saya merasakan suasana yang jauh berbeda. Saigon – An Giang. Ini bukan sekadar perbedaan antara kota dan desa seperti yang kerap kita jumpa di berbagai pelosok dunia. Kota dengan berbagai simbol kemodernannya. Hiruk pikuk. Sibuk. Desa dengan sunyi senyapnya. Santai. Khusuk dengan aktivitas keseharian yang relatif menenangkan. Atau, kota dengan keberlimpahan harta yang terlihat secara zahir. Desa dengan berbagai macam potret kemelaratan. Ciri khas kehidupan di sistem sekuler kapitalistik.

Tapi Saigon – An Giang berbeda. Ada warna spiritualitas yang begitu kentara. Ruang-ruang publik yang carut marut dan dipenuhi berbagai simbol palu dan arit, tiba-tiba berubah dengan pemandangan lelaki bersarung dan sebuah bangunan berkubah dengan warna putih hijau dominan. Simbol bulan dan bintang. Masjid. Muslim. Islam.


Saya sampaikan kepada Nguyen dan teman-temannya agar mereka menunggu di luar. Tidak masuk ke dalam Masjid. Mereka tidak keberatan. Ada pertanyaan apakah boleh memotret. Saya mempersilakan meski tak punya otoritas.


Masjid Jami Al Azhar. Begitu nama yang tertera di depan. Sebelum masuk ke bangunan utama, di halaman, saya melewati komplek pemakaman. Mirip dengan banyak tempat di Indonesia. Sesampainya di dalam, seseorang menghampiri saya. Salam diucapkan. Salam dibalas kembali. Tapi orang ini tak mengerti bahasa Melayu. Apalagi Inggris. Yang saya tahu, ia cukup ramah.


Sepi. Di sisi luar saya menjumpai anak-anak kecil. Nantinya saya mengetahui bahwa mereka adalah santri yang belajar agama di situ. Saya upayakan untuk bisa berkomunikasi. Saya tanya waktu zuhur. Saya tanya kemana orang-orang. Tak ada jawaban. Mereka seperti kurang percaya diri berhadapan dengan orang asing. Berbicara bahasa yang tidak saya mengerti satu sama lain.


Tiba-tiba seorang anak memberanikan diri bersuara


“Jam satu... jam satu....”


Apanya yang jam satu? Dia memberi isyarat seperti adzan. Ya adzan. Lalu mengulang-ulangi menyebut “jam satu... jam satu...”


“Zuhur? Lohor?” tanya saya.


“Ya, jam satu... jam satu...”


Kesimpulan saya adalah anak ini mecoba memberi tahu saya bahwa waktu zuhur jatuh pada jam satu atau waktu zuhur akan berlangsung satu jam lagi. Wallahu alam. Saya mengeluarkan seluler. Memperlihatkan kepada anak-anak tersebut gambar Masjid Mubarak, Chau Doc. Ini adalah masjid yang akan saya tuju.


Anak-anak itu mengetahui di mana masjidnya. Tapi tak mengetahui bagaimaca cara memberitahukan kepada saya. Lucu juga adegan percakapan kali itu. mereka menunjuk-nunjuk arah sambil berbicara bahasa Vietnam. Saya tersenyum. Mereka tersenyum. Saya pamit sambil berucap salam. Mereka menjawab salam dengan penuh semangat.


MasyaAllah. Ada haru yang tak terkira pada peristiwa ini. Kami tak saling memahami bahasa. Tapi doa akan keselamatan antar sesama, membuat darah di dada ini berdesir lebih deras dari biasanya. Ukhuwah.


Saya kembali menuju rombongan. Mengatakan kepada mereka bahwa kita akan menuju masjid satu lagi yang jaraknya tidak jauh dari sini. Setelah itu, saya bisa ditinggal. Dari boncengan motor Nguyen, saya sempankan menoleh ke belakang. Melihat sekali lagi keindahan masjid Al Azhar.


Salam

Pay Jarot Sujarwo


ig: payjarotsujarwo 

Silakan join di channel telegram untuk cerita lebih lengkap

t.me/payjarot

Posting Komentar untuk " Masjid Jamiul Azhar"