Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siem Reap dan Kebiadaban Kapitalisme


Siem Reap adalah kota kecil. Bahkan sangat kecil. Tapi Angkor Wat membuatnya populer. Bagi sebagian orang, Angkor Wat adalah sejarah, maka perlu untuk ke sana. Sebagian yang lain bilang Angkor Wat tempat yang indah, rugi kalau tidak ke sana. Dulu pernah ada film hollywood shooting di Angkor Wat. Aktrisnya istri Brad Pit, maka wajib ke sana. Berbagai alasan. Bahkan tak sedikit orang pergi ke Angkor Wat tanpa alasan. Just flow.


Kenapa begitu? Apalagi kalau bukan rekayasa kapitalisme. Angkor Wat sudah menjadi industri wisata yang tak hanya mengundang para traveler tapi juga mengubah warna Siem Reap. Hotel. Restoran. Bar. Prostitusi. Alkohol.

Kalau sudah ke Siem Reap maka wajib ke Pub Street. Sudah hapal dengan model begini? Ya, ketika pagi siang sore para traveler dari berbagai belah dunia lelah dengan betapa luasnya Angkor Wat, malam harinya mereka dimanjakan oleh Pub Street.

Ini adalah kawasan tempat cafe, hotel, bar, diskotik berada. Apa saja tersedia. Seperti yang sudah diduga dan juga terjadi di mana-mana tempat. Orang-orang Khmer, masyarakat lokal, hanya bisa pasrah menjadi pelayan restoran, pelayan hotel, pelayan cafe, pelayan nafsu para wisatawan.

Suatu hari, seorang aktivis sosial dari Australia mengajak saya minum di salah satu cafe di Pub Street. Katanya, ini adalah tempat orang-orang terkaya di Siem Reap berkumpul. Mereka mudah dikenali sebab jumlahnya tak banyak. Orang-orang kaya ini berinteraksi dengan para ekspatriat barat.

Di siang hari, kawasan Pub Street sepi dari hingar bingar. Lampu warna warni digantikan cahaya matahari. Tak jauh dari sini ada pasar. Mudah kita jumpai pengemis, orang-orang berwajah putus asa, gerombolan supir tuktuk menunggu penumpang, serta aktivitas masyarakat yang harus pontang panting berkelahi dengan nasib. Melarat.

Di waktu lain, aktivis Australia yang saya kenal ini membawa saya pergi ke luar Siem Reap. Kurang lebih 30 menit dengan sepeda motor. Kami ke rumah seorang warga Khmer. Seorang ibu dengan banyak anak, bekerja sebagai pembantu di Siem Reap dengan gaji 1 USD / hari.

Di rumahnya, tak ada toilet. Rumah tetangganya, pun tak ada. Lantas bagaimana kalau kebelet? Solusinya ambil linggis atau cangkul, pergi ke tanah lapang, toleh kiri kanan, lalu gali.

Fakta ini tak perlu diceritakan terus-menerus sebab memang seperti itulah watak dari kapitalisme. Ideologi ini jahat. Konsep kesejahteraan yang mereka usung, sudah sejak mula hanya berlaku bagi sebagian sangat kecil sekali populasi manusia. Sisanya? Sengsara.

Pertanyaannya, memangnya ada ideologi yang tak sejahat kapitalisme? Bukankah sudah hukum alam kalau ada kaya ada miskin? Ada bahagia ada sengsara?

Benar ini hukum alam. Tapi membuatnya menjadi sistemik, ini namanya biadab.

Salam
Pay Jarot Sujarwo

Ig: @payjarotsujarwo
t.me/payjarot
fb: Pay Jarot Sujarwo

Posting Komentar untuk " Siem Reap dan Kebiadaban Kapitalisme"