Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Punggung Israel

Di antara tips how to travel abroad yang cukup ampuh adalah menabung. Ini yang saya lakukan pada waktu itu. Destinasinya kamboja – Thailand. Durasi perjalanan satu bulan. Uang yang terkumpul kurang lebih tiga juta. Berangkat.


Pesawat dari Pontianak terbang ke Kuala Lumpur. Landing sore hari. Pesawat berikutnya pukul lima pagi keesokan harinya menuju Phonm Penh. Waktu itu saya tidak minat keliling Kuala Lumpur. Minat saya malah keliling KLIA. Jika lelah, istirahat. Jika lapar dan dahaga, makan dan minum. Jika ngantuk, tidur. Jika kebelet, ya ke toilet. Semua itu saya lakukan di KLIA sepanjang sore malam dan dini hari.

Pagi hari tiba di Phnom Penh. Kota yang lumayan sibuk untuk negara miskin seperi Kamboja. Maklumlah. Ibukota. Dimana-mana juga begitu. Di ibukota kemewahan dengan mudah bisa diindra. Nanti kalau sudah melewati batas kota, kemiskinan merata-rata. Ketimpangan sosial dimana-mana. Ciri khas negara yang mengemban ideologi kapitalis ya begitu itu. Tak usah heran.

Oh ya, untuk diketahui saja agar tidak salah persepsi. Dalam petualangan ini bekal di kepala saya adalah pluralisme. Bahwa semua orang sama. Kemajemukan harus dijunjung tinggi. Hak individu dilindungi. Tak boleh rasis. Tak boleh membedakan manusia satu dengan lainnya. Urusan ketuhanan adalah urusan masing-masing yang dilindungi hukum. Kita tidak boleh ikut campur.

Paham pluralisme inilah yang kemudian menghadirkan dunia baru. Dunia modern yang demokratis. Dunia yang dipuja-puja berbagai kalangan manusia. Pun bagi para traveler, pluralisme telah membuat mereka bisa diterima dimanapun berada.

Kita harus punya sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah sikap tidak saling mengganggu. Setidaknya itu yang ada di kepala saya pada waktu itu, menjelma sebagai sebuah pemahaman.

Kurang lebih dua pekan di Phnom Penh perjalanan saya lanjutkan ke Siem Reap. Kendaraan yang dipilih adalah _sleeper bus_. Delapan jam perjalanan malam hari. Tak ada kursi bagi penumpang. Yang ada hanya Kasur. Bus disetting menjadi dua lantai. Masing-masing bilik cukup untuk dua orang dewasa.

Saya masuk ke bilik saya setelah diantar kondektur. Di sebelah saya terbaring seorang lelaki. Berbadan besar. Berjenggot lebat. Berkulit putih. Orang barat. Kami saling sapa. Dia terlihat cukup ramah. Bahasa Inggrisnya bagus.

Pertanyaan umum bagi para pejalan yang pertama kali jumpa adalah _“where do you come from?”_ Lelaki itu menjawab dari Israel. Dia bertanya saya dari mana. Saya jawab dari Indonesia. Ini adalah pengalaman pertama saya bertemu dengan orang Israel. Orangnya ramah. Kenapa orang seramah ini dibenci jutaan manusia di Indonesia? Apa salahnya. Apa salah menjadi seorang Israel?

Saya berniat untuk _make friend_ dengannya. Setelah jawaban asal negara Indonesia yang saya ucapkan, saya sudah siap dengan pertanyaan berikutnya. Bagaimana perjalanannya? Sudah kemana saja? Suka dengan Kamboja? Sebelum dari Kamboja dari mana? Nanti mau kemana? _What do you think about Cambodian beer?_

Tapi seluruh list pertanyaan itu tak pernah terlontar. Setelah saya menjawab “Indonesia”, lelaki tinggi besar itu kemudian membalikkan punggungnya. Menghadap jendela. Membelakangi saya. Begitu terus selama delapan jam perjalanan. Bahkan, setelah bus tiba, tak diliriknya saya.

Kenapa? Apa salah menjadi seorang Indonesia? Apa karena di Indonesia banyak muslim? Katanya pluralisme? Ini gimana sih?

Teman, ini pengalaman lama. Tentang berharganya sebuah persepsi. Sebuah pemahaman. Salah pemahaman, salah pula perilaku. Yang repot adalah, semua perilaku itu akan dimintai pertanggungjawaban di akherat. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang bertaubat dan berada pada pemahaman yang benar.

Tentang pluralisme, ampuni dosa-dosa hamba di masa itu ya Allah.

Salam
Pay Jarot Sujarwo

ig: @payjarotsujarwo
t.me/payjarot
fb. Pay Jarot Sujarwo

Posting Komentar untuk "Punggung Israel"