Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Why Cambodia (part 2)


Tak hanya tentang tiga pertanyaan mendasar, tapi lebih banyak lagi. Saya terkejut bahwa selama ini telah berpikir dengan cara yang salah. Saya baru memahami konsep kesadaran hubungan dengan Allah hingga akhir hayat. Dan banyak lagi. Pada periode ini pula saya benar-benar diberi kesadaran bahwa Islam bukan sekadar urusan diri pribadi dengan Allah, tapi juga mencakup segala urusan hingga persoalan negara.

 

Teman saya di warung kopi kini sudah berubah status menjadi musyrif. Saya termasuk beruntung, karena hampir setiap hari bisa bertemu dan berdiskusi dengan bang musyrif. Sampai suatu hari, bang musyrif menawarkan pernikahan ke saya. Seorang gadis cantik dari Sukabumi saya sunting. Di awal pernikahan kami masih berjarak antar pulau sebab istri yang bekerja sebagai guru masih punya akad menuntaskan pekerjaan hingga tahun ajaran.

 

Saya putuskan untuk kembali melakukan perjalanan. Riset kembali dilakukan. Negeri mana yang jadi tujuan? Eit, tapi sebentar. Mari kita simak pergulatan saya dengan bahan bacaan sebelum memutuskan kembali packing ransel. Singkat saja.

 

Di buku berjudul Fikrul Islam saya menemukan pembahasan tentang kenapa manusia berbuat sesuatu. Why? Motivasi! Bagaimana jika gagal dalam melakukan sesuatu itu? Ini adalah catatan yang dahsyat dan berharga bagi saya. Mengubah hidup saya secara total. Al quwwah al maadiyah, al quwwah al ma’nawiyah, dan al quwwah al ruhiyah.

 

Perjalanan kali ini tak lagi mempertimbangkan perkara materi dan moral. Tak terlalu risau dengan itu. Saya betul-betul menyadari tentang diri ini yang adalah seorang muslim, yang wajib menjadikan kekuatan ruhiyah sebagai harta simpanan yang takkan sirna dan rahasia mencapai keberhasilan dan kemenangan.

 

Kali ini riset perjalanan sudah berganti keyword. Sejarah Islam di Kamboja. Saya bertemu dengan keyword baru. Kerjaan Campa. Bertemu lagi dengan keyword baru. Melayu Campa. Vietnam Selatan. Cambodian Musim Media Center. Dan lain-lain dan lain sebagainya.

 

Bara semangat perjalanan yang menyala-nyala di dada ini sudah berubah warna. Jika dulu, “pokoknya jalan saja,” kali ini, “Muslim itu satu tubuh. Ikatan aqidah tak hanya membuat satu sama lain bersaudara. Tetapi juga disatukan dalam bentuk institusi negara.”

 

Saya sangat ingin ke Vietnam, barangkali menemukan keterkaitan antara Negara Campa dengan para muslim di Guang Zhou. Barangkali saya menemukan jejak-jejak kekhilafahan Abbasiyah yang menang melawan Dinasti Tang dalam perang Talas. Atau setidaknya informasi tentang salah satu walisongo yang berasal dari Campa.

 

Saya cari dokumen. Saya cari kontakan yang bisa jadi perantara menuju ke sana. Hasrat ini menggebu-gebu. Penuh harap, siapa tau saja bisa menyadarkan kembali muslimin di Indocina bahwa satu tubuhnya kita harus dinaungi oleh satu negara. Sebab itulah kekuatan sesungguhnya.

 

Fix, rutenya kali ini adalah Pontianak – Kuala Lumpur – Ho Chi Minh – Phnom Penh. Seperti biasanya, saya memanfaatkan jaringan backpacker. Di Ho Chi Minh, saya bermalam di rumah orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Dijemput di bandara, sampai rumah, lanjut diskusi hingga larut.

 

“Tell me about Islam,” tiba-tiba saja tuan rumah menanyakan itu. Ia murni orang Vietkong. Tak menyebut dirinya komunis, tetapi mengaku tak pernah punya dan tak pernah belajar agama. Maka, malam itu kami berbicara tentang agama, khususnya Islam. Hasilnya, meskipun si Vietkong ini tak tertarik untuk memeluk Islam, setidaknya ia pada malam itu memiliki opini berbeda tentang Islam.

 

“Thank you for your explanation about Islam,” katanya. Sekarang ia tahu bahwa Islam bukanlah agama yang dengan mudah lempar bom di kerumunan seperti yang ia ketahui di televisi.

 

Setelah dua malam, saya pindah ke kenalan lainnya. Kali ini mengaku komunis. Diskusi dengan orang kedua ini lebih panas dibanding dengan orang pertama. Jika orang pertama hanya berkutat pada persoalan individu. Di orang kedua ini, sejak awal diskusi, langsung to the point bahas negara. Bahas Ideologi.

 

“Islam itu tak sekadar agama ritual, tapi juga ideologi. Pernah menjadi negara super power tak terkalahkan pada masanya,” kata saya.

 

“Tapi kekuatan itu sudah hilang,” katanya.

 

“Ya, hilang. Sama juga dengan kekuatan komunis yang juga hilang,” balas saya lagi.  

 

“Ya, betul. Vietnam ini bodoh mempertahankan ideologi komunis. Tapi juga bodoh kalau beragama,” ia malah membodoh-bodohkan negaranya sendiri.

 

Tapi manusia ini luar biasa. Awalanya ia mengaku sama sekali tak punya informasi sebelumnya tentang Islam. Setelah diskusi panjang sepanjang malam, diskusi diakhiri dengan tawarannya mengantarkan saya ke perkampungan muslim. MasyaAllah.

 

“Where will you go afterSaigon?” katanya

 

“Chau Doc,” kata saya.

 

“Then I will take you there,” katanya.

 

Jadi, komunis sebagai sebuah system negara itu jahat. Tapi individu yang hidup di bawah naungan negara komunis, bisa saja menjadi baik.

 

Perjalanan Saigon – Chau Doc, Angiang dengan sepeda motor berlangsung kurang lebih tujuh jam. Ini berbeda dengan waktu tempuh yang saya cek di google map. Menurut google dalam waktu empat jam kami akan sampai tujuan. Tapi faktanya, tujuh jam. Kenapa? Sebab negara melarang warga memacu kendaraannya lebih dari 50 km / jam. Dan anehnya, warga pada nurut. Atau takut? Jadi perjalanan kami pada waktu itu hanya 40 atau maksimal 45 km/jam.

 

Menurut Wikipedia Chau Doc adalah sebuah di Provinsi An Giang yang berbatasan dengan Kamboja, di wilayah Delta Sungai Mekong, Vietnam. Menurut saya, ini adalah perkampungan yang menyenangkan. Tak terlalu luas, berpenduduk Muslim yang jauh dari hiruk pikuk modern seperti kehidupan di Ho Chi Minh.

Sesampainya di kota ini, saya langsung menuju masjid. Teman yang mengantar, menunggu di kedai kopi sebelah masjid. Selesai berjamaah, seseorang menghampiri saya. Bahasa Melayunya fasih. Bernama Yusuf, saya memanggilnya Abang Yusuf.

 

MasyaAllah, perlakukan Abang Yusuf kepada saya, adalah perlakuan yang tak pernah saya temukan sebelum ini di tanah kelahiran. Saya betul-betul seperti saudara. Abang Yusuf cerita banyak tentang dirinya, tentang nenek moyangnya, tentang kehidupan Islam di tempat itu.

 

“Apakah orang-orang sini masih ada keturunannya dengan kerajaan Campa?” Tanya saya.

 

“Kami Melayu Campa. Tapi bukan dari kerjaan Campa,”

 

Saya agak bingung dengan jawaban Abang Yusuf.  Selanjutnya beliau bercerita bahwa nenek moyangnya berasal dari Trengganu. Di rumahnya, Abang Yusuf mengambil sebuah kitab bertuliskan Arab tanpa harokat. Lalu ia mulai membaca. Jelas terdengar Bahasa Melayu di telinga saya.

 

Bukan keturunan Campa, hanya disebut Melayu Campa? Ini PR yang harus saya jawab.

 

3 hari saya berbaur dengan masyarakat Chau Doc. Sungguh, saya betah. Tapi saya harus melanjutkan perjalanan. Sebelum pamit, saya dengan Bang Yusuf sempat berdiskusi serius tentang Islam yang satu tubuh. Tentang kekhilafahan yang membentang di 2/3 bumi dan berkuasa selama kurang lebih 13 abad.

 

Bang Yusuf senang jika Islam bisa bersatu kembali seperti dulu. Tapi ia tidak protes dengan negara komunis Vietnam. Karena menurutnya, negara memperlakukan mereka dengan baik. Bahkan setiap tahun, kerajaan Arab bikin kerjasama dengan negara untuk memberangkatkan kaum muslim untuk berangkat haji ke Mekah. Setiap tahun 200 muslim Vietnam diundang naik Haji. Setiap tahun yang berangkat, kurang dari 100.

 

Tak bisa juga saya memaksakan pendapat kepada bang Yusuf bahwa ada masalah besar dengan sistem pemerintahan di Vietnam dan seluruh dunia ini. Baginya negara ini baik kepada warga muslim, ya sudah. Tak boleh diprotes. Sebelum benar-benar pulang, saya memberi bang Yusuf dua buku bersampul putih. Yang satu berbahasa Indonesia. Satu lagi berbahasa Arab. Nizhomul Islam, karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani.

 

“Yang kitab berbahasa Arab ini sebaiknya dikaji bersama ulama yang bang Yusuf kenal. Yang berbahasa Indonesia ini juga mirip-mirip dengan Bahasa Melayu. Siapa tau bang Yusuf paham sikit-sikit,” pesan saya.

 

“Ya, saya ada kenalan ulama di Saigon. Mudah-mudahan nanti saya bisa ke Saigon dan memberikan kitab ini kepadanya,” jawab bang Yusuf.

 

Kami berpisah. Saya melanjutkan perjalanan ke Phnom Penh dari Chau Doc melalui jalur air.


sungai di phnom penh, kamboja



(bersambung)

Posting Komentar untuk "Why Cambodia (part 2)"