Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Open Trip, Why?

Oleh: Pay Jarot Sujarwo
Saya awalnya tak terlalu paham bagaimana menjadi seorang tour guide. Tentu saja. Selama mengembara, saya tak pernah ikut travel agent. Tapi hasrat saya untuk bisa mengajak orang traveling cukup besar. Hingga akhirnya terwujud di awal 2017.
Waktu itu saya bikin pengumuman di sosmed, bahwa saya akan open trip. Rutenya Malaysia – Vietnam – Kamboja. Ini pengalaman perdana. Agak deg-deg-an sebenarnya. Tapi berkali-kali saya kasi penjelasan saat promosi di facebook, bahwa tipe perjalanan kita kali ini bukan tipe perjalanan travel agent. Saya bukan tour guide. Saya lebih suka disebut teman perjalanan. Nanti kita punya itenerary, tapi tidak kaku. Fleksible. Coboy.
Maka berangkatlah kami, kalau saya tidak salah pesertanya ada 10 orang. Waktu itu, dari Pontianak terbang ke Kuala Lumpur, langsung menuju kota Putrajaya, malam hari ke Dataran Merdeka dan Menara Petronas. Esoknya terbang ke Vietnam. Dua hari di Ho Chi Minh kebanyakan kita jalan kaki ke berbagai tempat wisata. Hari berikutnya naik bis ke Phonm Penh. Betapa bahagianya seluruh peserta ketika berjumpa restoran Indonesia di Ibu Kota Kamboja itu. Warung Bali, milik kang Firdaos.
Dari Kamboja, terbang ke KL lalu pulang ke Potianak. Total 5 malam 6 hari 3 Negara. MasyaAllah. Saya tak pernah menyangka mendapat respon yang menggembirakan dari seluruh peserta. Dugaan saya adalah saya memang bukan tour guide dari travel agent, yang setiap saat harus sibuk melirik jam tangan dan mengibarkan bendera perusahaan. Tidak, saya tidak seperti itu.
Kebetulan sebelum-sebelumnya saya pernah ke Malaysia – Vietnam – Kamboja. Saya hafal beberapa daerah di sana, selanjutnya saya bebaskan para peserta untuk eksplorasi. Di sela-sela itu saya juga berkesempatan bercerita tentang bagaimana Islam bisa berkembang di daerah ini hingga kemudian porak poranda oleh penjajah Perancis.
Pengalaman pertama menjadi teman perjalanan, cukup menyenangkan. Selanjutnya saya buka lagi trip ke Bangkok - KL. Hampir 2 kali lipat pesertanya, 18 orang. Di kesempatan lain ada trip ke KL – Genting – Malaka, juga 18 orang. Terus saya bawa keluarga dan 1 keluarga lainnya dan 1 orang mahasiswa ke Batam – Singapura.
Lalu kenapa saya sampai bikin open trip? Apakah hanya untuk memuaskan hasrat saja? Tentu saja tidak. Meskipun belum mengunjungi banyak negara, tapi saya cukup memahami dunia traveling. Berbagai macam rupa tujuan orang traveling, mulai dari sebagai wujud eksistensi kaum hedonis hingga merasa perlu belajar dengan kehidupan dan kebudayaan asing. Mulai dari foto-foto untuk kebutuhan sosmed sampai soal charity bagi orang-orang miskin di negara tujuan. Ada banyak perisitiwa dalam traveling. Ada banyak cerita. Itu yang perlu kita bagi.
Tapi hanya berbagi cerita saja tak cukup. Saya juga ingin berbagi impian. Suatu hari, saya punya mimpi, dan mimpi itu sampai hari ini tetap terjaga. Mimpi itu adalah bisa jalan-jalan keliling dunia, tapi juga bisa masuk surga. Ini sesuatu yang begitu mudah diimpikan juga diucapkan. Tapi untuk dipraktikkan tak semudah yang kita duga.
Berapa banyak traveler di dunia ini yang semakin jauh kakinya melangkah, semakin jauh mereka dengan Tuhannya? Ada banyak sekali. Kau tau Seam Riep, Kamboja? Di kota ini ada kawasan yang disebut Pub Street. Ini adalah kawasan tempat para western melampiaskan maksiatnya. Pub, alkohol, lokalisasi, ganja, hingar bingar musik. Lalu berapa orang yang kemudian tertular? Wohoho, banyak sekali. Mengaku diri traveler, merasa perlu menjadi bagian dari itu semua.
Dan kawasan model Pub Street hadir merata di hampir semua wilayah tujuan wisata dunia. Khao San, Legian, Chiang Rai, Pam Ngu Lao, Jalan Jaksa, dan berbagai tempat lainnya. Semakin ke sini, situasinya semakin mengkhawatirkan. Mereka melabeli aktivitasnya sebagai aktivitas menuju freedom. Dan ini menular, kawan. Percayalah.
Padahal, bukan itu hakikat perjalanan. Beberapa ayat dalam Al Qur’an saya temukan terkait traveling. Memang kita disuruh untuk berjalan di muka bumi, menjelajahi tempat-tempat asing. Tapi bukan untuk maksiat, melainkan untuk mendekat kepada Tuhan. Sebaik-baiknya perjalanan adalah perjalanan menuju ketaqwaan.
Sampai di sini, rasanya bisa dipahami. Ada alasan ruhhiyah dalam trip yang saya selenggarakan. Meskipun juga tak bisa dipungkiri, juga ada nilai madiyah di sini. Tapi sungguh, saya ingin berbagi. Lalu dari apa yang saya bagikan ini, sukur-sukur bisa dibagikan kembali. Lewat tulisan. Harapannya Allah ridha. Sehingga akan menjelma pahala yang terus mengalir. Untuk saya sendiri, juga untuk para peserta yang mengikuti trip ini.
Kita akan ngetrip dan menulis bersama. Islamic Trip and Travel Book Project. Kuala Lumpur – Malacca. 11 – 13 Oktober 2019. You are invited, kawan. Yes, you are.

1 komentar untuk "Open Trip, Why?"