Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gerbang Pagi di Bosphorus: Sebuah Catatan Perjalanan

 Menelusuri jejak Byzantium dan Utsmani di antara kabut dan riak selat

Oleh Pay Jarot Sujarwo | 16 Desember 2025

 

Kabut tipis masih menggantung rendah di atas dermaga Eminönü, memeluk menara-menara masjid dan menyamarkan garis batas antara langit dan laut. Udara pagi berbau garam, bercampur dengan aroma arang dari penjual jagung bakar yang baru saja menyalakan bara apinya. Di sini, di tepi Tanduk Emas, Istanbul baru saja menggeliat bangun. Burung-burung camarpara penjaga abadi kota inisudah lebih dulu riuh, berputar-putar dalam tarian lapar di atas feri yang mesinnya mulai menderu rendah, siap menyeberang menuju Asia.

 

Saya melangkah naik ke geladak kapal yang kursi-kursi penumpangnya masih basah bekas gerimis tadi subuh, bergabung dengan arus manusia yang bergerak dalam diam. Wajah-wajah pagi itu menyimpan seribu cerita: para pekerja dengan mata yang masih berat, pedagang yang mendekap erat buntalan dagangannya, dan beberapa turis yang menggigil dalam jaket tebal mereka, mencari posisi terbaik untuk memotret. Saat rantai jangkar ditarik dan peluit kapal memekik panjang, kami pun terlepas dari daratan Eropa, mengapung di atas selat yang telah menjadi saksi bisu ribuan tahun sejarah manusia.

 

Istanbul tidak sekadar berdiri di atas dua benua; ia berdiri di atas tumpukan memori, di mana setiap batu memiliki kisah dan setiap gelombang menyimpan rahasia kekaisaran yang telah karam.

 

Saat feri bergerak menjauh, siluet Semenanjung Bersejarah perlahan terlukis utuh di cakrawala. Di sanalah Byzantium pernah berdenyut. Mata saya tertumbuk pada kubah raksasa Hagia Sophia yang tampak merah muda ditimpa cahaya fajar. Bangunan itu berdiri angkuh namun lelah, sebuah palimpsest arsitektur yang menyimpan gema lonceng gereja di sela-sela kumandang azan. Saya membayangkan kerumunan di Hippodrome berabad-abad silam, teriakan para pendukung tim Biru dan Hijau yang mengguncang takhta kaisar, dan kemegahan mosaik emas yang kini bersembunyi di balik plester atau bersinar remang di museum ingatan.

Namun, Istanbul tidak pernah membiarkan satu masa lalu mendominasi panggung sendirian. Saat pandangan beralih ke hulu Tanduk Emas, imajinasi saya melayang ke Eyüp, sebuah distrik yang menjadi jangkar spiritual kota ini bagi Wangsa Utsmaniyah. Di sanalah Abu Ayyub al-Anshari, sahabat Nabi yang sepuh, gugur di dinding Konstantinopel ratusan tahun sebelum kota itu takluk. Kehadirannya mengubah tanah ini menjadi tempat suci, tempat para sultan baru akan dilingkupi sabuk pedang Osmansebuah ritual penahbisan yang menegaskan bahwa mereka bukan hanya sultan, tetapi juga ghazi, pejuang di jalan iman.

 

Angin Bosphorus bertiup semakin kencang saat kami berada tepat di tengah selat. Buih putih memecah di lambung kapal, mengingatkan pada armada-armada perang yang pernah melintas di perairan ini, dari trireme Yunani hingga kapal-kapal layar Utsmani yang membawa rempah dan sutra. Di sinilah kejayaan itu pernah memuncak, membangun istana-istana megah seperti Topkapi dengan keputusan-keputusan yang mengubah peta dunia di balik tembok tingginya.

 

Namun waktu adalah penakluk yang paling sabar. Kesultanan yang membentang tiga benua itu akhirnya merapuh, digerogoti dari dalam dan luar, hingga runtuh menjadi debu sejarah. Republik lahir dari abu reruntuhan itu, membawa semangat rasionalitas baru, mengganti fez dengan topi, dan huruf Arab dengan Latin. Istanbul yang mistis dipaksa berhadapan dengan modernitas yang dingin. Namun, saat mengamati penumpang di sebelah saya menyeruput teh panas dari gelas berbentuk tuliptradisi yang tak lekang oleh revolusi apapunsaya sadar bahwa transisi itu hanyalah pergantian kulit luar. Jantung kota ini tetap berdetak dengan irama yang sama.

 

Modernitas mungkin telah mengubah wajah kota, mendirikan gedung pencakar langit di antara menara azan, namun ia tak mampu menghapus jejak-jejak keberanian yang tertanam dalam tanahnya.

 

Feri kami akhirnya mulai melambat, mendekati dermaga Üsküdar di sisi Asia. Matahari kini telah sepenuhnya muncul, menyinari permukaan air yang berkilauan seperti ribuan koin emas yang ditebar. Perjalanan singkat ini, dari satu benua ke benua lain, terasa seperti melintasi lorong waktu yang panjang. Dari bayang-bayang Konstantinopel hingga hiruk-pikuk Istanbul modern, ada satu benang merah yang tak terputus. Di setiap sudut jalan, di tatapan para nelayan yang sabar, dan di dalam keheningan halaman masjid tua, tersimpan sebuah warisan yang tak terlihat namun terasa begitu kuat.

 

Saat kaki saya menjejak tanah Üsküdar dan kembali disambut riuh rendah kehidupan kota, sebuah kesimpulan merambat pelan namun pasti di benak saya. Di balik lapisan beton modern, di bawah aspal jalan raya, dan di dalam dada penduduknya yang berjalan tegap menghadapi hari, Turki akan selalu menyisakan ruh para pejuang.

 

Salam
Teman Perjalananmu 

Ditulis di Bogor, 16 Desember 2025 

Posting Komentar untuk "Gerbang Pagi di Bosphorus: Sebuah Catatan Perjalanan"