Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Orang-Orang Boyan

Ketika bertemu Dong di malam pertama ketibaan, lelaki ramah itu memberi tahu bahwa wifi tersebar dimana-mana di kota Saigon ini. Tak susah untuk punya koneksi internet. Bahkan kedai kopi kecil pun, tersedia wifi. Karena di Kota Saigon saya tidak lama, jadi saya putuskan untuk tidak membeli SIM Card. Koneksi, mengandalkan free wifi. Pagi hari ketika masih di rumah Dong, saya googling segala keperluan saya sepanjang hari. Informasi Masjid. Rute menuju ke lokasi tertentu. Kedai kopi yang direkomendasikan. Dari kawasan Central Post Office, tujuan berikutnya adalah jalan kaki ke Masjid Al Rahim. Informasi tentang masjid ini saya dapatkan dari seorang muslim Vietnam yang saya kontak di Facebook jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Kami sempat berkomunikasi hal-hal umum terkait keislaman di Vietnam. Kemudian saat saya memberi tahu tanggal keberangkatan, ia mengatakan bahwa kita akan berjumpa di Masjid Al Rahim. Penelusuran singkat di internet mengatakan Masjid ini sudah dibangun sekitar 1800an akhir, dan belakangan dibangun kembali oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia. Saya sampai. Dari seberang jalan saya liat beberapa warung di kiri kanan masjid bertuliskan halal. Mereka menjual makanan ringan dan berat. Ada mie juga nasi. Di halaman masjid ada kursi dan meja dari semen. Saya duduk di situ. Seorang lelaki juga. Kami tukar senyum. Saya ambil HP, ingin liat jam sekaligus ingin tahu kalau-kalau ada pesan masuk dari Muslim Vietnam yang saya kenal di Facebook. Tak ada. Ya jelas. Sebab seluler saya tak ada koneksi. Wudhu, masuk ke ruang utama masjid, sholat. Jamaah sholat hanya sedikit. Hanya beberapa orang lanjut usia. Sepertinya juga tak ada orang bisa saya ajak bicara. Mereka tak berbicara Inggris ataupun Melayu. Maka, saya harus ketemu dengan wifi. Beruntung ada kedai teh tak jauh dari Masjid. Setelah memesan teh, saya bersegera menghubungi Muslim Vietnam (mohon maaf, saya lupa siapa namanya. Saya coba telurusi kembali akunnya, tidak ketemu). Ada fotonya di facebook. Saya perhatikan dengan betul. Sepertinya mirip dengan seorang pemuda yang tadi saya jumpa di halaman Masjid. Tapi kok dia tidak menyapa saya? Apa karena wajah di facebook dan wajah asli saya berbeda? Atau pikiran kami sama, khawatir salah orang. Via inbox saya menyampaikan bahwa tadi sudah sampai Masjid Al Rahim. Sepertinya saya melihat orang sepertinya, tapi ragu untuk menyapa. Sekarang saya di kedai teh dekat Masjid. Apabila ia masih di masjid, bolehlah kiranya kita jumpa di kedai teh ini. Pesan berbalas. Yup, dialah orangnya. Dia mengaku juga ragu untuk menyapa. Menunggu beberapa menit, ia tiba. Kali ini tidak hanya tukar senyum. Tapi saling mendoakan dalam keselamatan. Juga berjabat tangan. Percakapan dimulai. Seperti biasa, posisi saya hanya pendengar dan satu dua mengajukan pertanyaan. Alhamdulillah Bahasa Inggrisnya bagus. Ia bercerita bahwa profesinya adalah supir. Mobil yang dibawanya, parkir di halaman masjid adalah mobil bosnya. Setiap hari antar jemput bos, dan menjelang ashar ia pasti singgah di Masjid Al Rahim. Setelah sholat, pulang ke rumah. Di luar kota Saigon. Saya tanyakan tentang orang-orang Islam di sekitar Masjid. Katanya sebagian besar dari mereka berasal dari pulau Bawean Jawa Timur. Mereka dikenal dengan sebutan orang-orang Boyan. Tapi jangan harap orang-orang Boyan ini masih bisa berbahasa Indonesia, Jawa, Madura, atau Melayu. Sebab mereka sudah beranak pinak di Saigon sejak lama. Hanya leluhur yang asli Bawean. Sudah tiba di sini seusia dengan Masjid. 1800an. “Bagaimana perlakuan negara terhadap mereka?” tanya saya. Jawabnya, sama seperti masyarakat lainnya. Sama saja. Mereka aman. Beribadah bebas. Tak ada tekanan. “Jumlah mereka banyak?” pertanyaan selanjutnya. Orang-orang Boyan terpusat di kawasan Masjid Al Rahim. Jumlahnya tak diketahui persis. Beberapa orang ikut merantau ke Amerika pasca perang. Ada juga yang kembali ke Bawean tapi tak banyak. Sisanya, ya mereka itu. Tapi sayang, mereka sudah tidak lagi menunjukkan identitas keislamannya. Saya terkejut dengan statemen terakhir. “what do you mean?” Ya, bukankah tadi kita saksikan di waktu sholat, hanya orang tua yang masuk ke Masjid. Itu pun jumlahnya sangat sedikit. Padahal rumah mereka hanya berbatas pagar dengan Masjid. Anak-anak mudanya sudah terpengaruh budaya modern. Tak sedikit yang menghabiskan waktu dengan minum-minuman keras. Perempuan tak lagi menutup aurat. Satu-satunya identitas keislaman hanya tulisan “Halal” dengan huruf Arab yang terpampang di depan warung makan mereka. Sekulerisme sialan. Saya mengumpat dalam hati. Ideologi setan ini telah berhasil membuat orang-orang begitu jauh dari agamanya. Dimanapun berada. Di Indonesia begitu. Di Vietnam begitu. Di tempat-tempat lain juga begitu. “Kira-kira apa masalah utamanya?” saya lanjut bertanya. Dakwah. Katanya singkat. Ia diam sebentar. Seperti memendam kebencian yang dalam. Lalu lanjut bercerita. Sudah tak ada lagi dakwah di tempat ini. Tak ada yang memerdulikan mereka sebagai saudara seiman. Turis-turis muslim hanya datang ke sini, membeli makanan halal mereka. Sudah. Jika ada percakapan, ya paling seputar asal muasal mereka. Orang-orang Boyan. Sudah itu saja. Selanjutnya tak ada. Seharusnya ada juru dakwah yang menetap di sini, lanjutnya. Hanya dakwah yang dapat mengubah hidup mereka. “Tapi kau kan juga bisa mendakwahi mereka,” Ia mengaku tak ada yang bisa diandalkan darinya. Ia sendiri bukan orang Boyan. Hanya seorang Muslim yang mampir ke Masjid itu untuk sholat juga ngopi. Secara pribadi ia mengaku banyak belajar Islam di internet. Ia kenal dengan juru dakwah popular di internet. Dan sangat berharap ada di antara mereka yang datang ke orang-orang Boyan ini. Saya sampaikan juga pendapat tentang kewajiban berdakwah dibebani siapa saja. Tak hanya juru dakwah. Tapi tiap individu. Tak cukup sampai di situ. Dakwah juga merupakan kewajiban negara. Ya, Islam ini benar-benar akan bisa diterapkan, ditegakkan, dijalani, dan menjadi inspirasi siapa saja manusia di dunia jika dijalankan oleh negara. Dan negara punya kewajiban untuk berdakwah di setiap sudut dunia. Tak terasa kami bercakap-cakap hari sudah sore. Hampir magrib. Kami kembali ke Masjid. Sholat kemudian makan. Setelah itu ia mengantar saya menuju Pam Ngu Lao Street. Kawasan para backpacker berkumpul di kota Saigon ini. Salam Pay Jarot Sujarwo Ig: @payjarotsujarwo fb: Pay Jarot Sujarwo Blog: www.payjarotsujarwo.com Silakan join di channel telegram untuk cerita lebih lengkap t.me/payjarot

Posting Komentar untuk "Orang-Orang Boyan"