Proses
Oleh Pay Jarot Sujarwo
Kapan terakhir kali kamu, sebagai penulis, menulis dengan media kertas dan pulpen seperti ini?
Dulu, saya melakukannya. Masa ketika komputer masih menjadi barang mewah, senjata saya adalah mesin ketik. Tapi saya tidak mau gegabah langsung menuangkan ide via mesin ketik tersebut. Saya tidak suka membubuhi kertas dengan type-X jika terdapat kesalahan. Makanya saya perlu kertas dan pena, untuk bikin draft, konsep, atau langsung menjadi cerita. Nanti kalau ceritanya sudah jadi baru disalin ke mesin ketik.
Lama? Dua kali kerja? Ya, tentu saja. Tapi ini tidak berlaku bagi siapa saja yang menganggap ini sebagai bagian dari proses kreatif. Dulu, siapa saja yang berkarya senantiasa menjadikan proses sebagai sebuah prioritas. Lebih penting daripada hasil. Dan melakukan dua kali kerja seperti ini, saya pribadi menjadi begitu menikmati prosesnya.
Editing lebih mengasyikkan. Kertas penuh dengan coretan. Jika lelah, kertasnya bisa juga dijadikan kipas sejenak, lalu lanjut menulis lagi. Proses, ini yang sudah mulai jarang saya temui pada karya-karya penulis pemula. Barangkali sudah zamannya. Tapi masak sih? Cobalah untuk sabar sedikit. Percayalah, yang instan itu kerap hanya berusia instan juga.
Kembali kepada proses menulis di atas kertas. Ketika komputer sudah mulai akrab, di depan kampus, saya mulai rajin pergi ke rental komputer. Di sana saya kerap menghabiskan waktu berjam-jam untuk bisa menguasai benda satu itu, lalu membuat tulisan. Lebih mudah dan lebih cepat. Tapi waktu itu, saya masih menulis di kertas sebagai konsep ataupun cerita yang utuh.
Nanti, kebiasaan menulis dulu di kertas ini akhirnya berhenti ketika saya sudah mampu membeli laptop. Barang itu bisa saya bawa kemana-mana, jadi dimana tempat saya singgah saya bisa menulis. Jika salah, cukup backspace atau delete.
Kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. Hari ini saya merindukannya.
Tadi, sepulang mengantar pesanan madu, saya pergi ke fotokopi. Membeli buku tulis dan pena. Masya Allah. Harganya murah sekali. 4.500 untuk buku tulis, 3.500 untuk pena. Dari situ, saya ke warung kopi (tentu saja dengan protokol kesehatan), memesan kopi, duduk.
Lalu kata demi kata mulai saya bubuhi di atas kertas. Nikmat betul proses ini. Proses yang kemudian menjadikan saya setia untuk tetap menulis sampai hari ini. Proses yang telah mengantarkan saya pada perjalanan yang begitu jauh.
Di atas kertas, saya membuat sebuah cerita yang kelak akan kamu baca. Ya, kamu.
Kapan terakhir kali kamu, sebagai penulis, menulis dengan media kertas dan pulpen seperti ini?
Dulu, saya melakukannya. Masa ketika komputer masih menjadi barang mewah, senjata saya adalah mesin ketik. Tapi saya tidak mau gegabah langsung menuangkan ide via mesin ketik tersebut. Saya tidak suka membubuhi kertas dengan type-X jika terdapat kesalahan. Makanya saya perlu kertas dan pena, untuk bikin draft, konsep, atau langsung menjadi cerita. Nanti kalau ceritanya sudah jadi baru disalin ke mesin ketik.
Lama? Dua kali kerja? Ya, tentu saja. Tapi ini tidak berlaku bagi siapa saja yang menganggap ini sebagai bagian dari proses kreatif. Dulu, siapa saja yang berkarya senantiasa menjadikan proses sebagai sebuah prioritas. Lebih penting daripada hasil. Dan melakukan dua kali kerja seperti ini, saya pribadi menjadi begitu menikmati prosesnya.
Editing lebih mengasyikkan. Kertas penuh dengan coretan. Jika lelah, kertasnya bisa juga dijadikan kipas sejenak, lalu lanjut menulis lagi. Proses, ini yang sudah mulai jarang saya temui pada karya-karya penulis pemula. Barangkali sudah zamannya. Tapi masak sih? Cobalah untuk sabar sedikit. Percayalah, yang instan itu kerap hanya berusia instan juga.
Kembali kepada proses menulis di atas kertas. Ketika komputer sudah mulai akrab, di depan kampus, saya mulai rajin pergi ke rental komputer. Di sana saya kerap menghabiskan waktu berjam-jam untuk bisa menguasai benda satu itu, lalu membuat tulisan. Lebih mudah dan lebih cepat. Tapi waktu itu, saya masih menulis di kertas sebagai konsep ataupun cerita yang utuh.
Nanti, kebiasaan menulis dulu di kertas ini akhirnya berhenti ketika saya sudah mampu membeli laptop. Barang itu bisa saya bawa kemana-mana, jadi dimana tempat saya singgah saya bisa menulis. Jika salah, cukup backspace atau delete.
Kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. Hari ini saya merindukannya.
Tadi, sepulang mengantar pesanan madu, saya pergi ke fotokopi. Membeli buku tulis dan pena. Masya Allah. Harganya murah sekali. 4.500 untuk buku tulis, 3.500 untuk pena. Dari situ, saya ke warung kopi (tentu saja dengan protokol kesehatan), memesan kopi, duduk.
Lalu kata demi kata mulai saya bubuhi di atas kertas. Nikmat betul proses ini. Proses yang kemudian menjadikan saya setia untuk tetap menulis sampai hari ini. Proses yang telah mengantarkan saya pada perjalanan yang begitu jauh.
Di atas kertas, saya membuat sebuah cerita yang kelak akan kamu baca. Ya, kamu.
Posting Komentar untuk "Proses"