Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Why Cambodia (Part 3)

Ini adalah pengalaman pertama melewati batas negara melalui jalur air. Hari sebelum keberangkatan, Bang Yusuf memperkenalkan saya dengan Ahmad. Dia adalah anak muda dari kampong Chau Doc yang bekerja sebagai kernet kapal penumpang jurusan Vietnam – Kamboja. Inilah luarbiasanya koneksi. Lebih luar biasa lagi, koneksi yang dilandasi dengan akidah. Sebelum berangkat, keluarga Ahmad menyiapkan makanan halal untuk saya. Bekal perjalanan menuju Kamboja.

 

Bagi saya yang lahir dan besar di Pontianak, dengan Kapuas sebagai sungai terpanjang se Indonesia, berada di Sungai Mekong secara kasat mata tentu merupakan hal biasa saja. Sekilas tampak tak jauh berbeda. Meski secara ukuran, Sungai Mekong lebih panjang. Ini merupakan sungai terpanjang di Asia Tenggara, kurang lebih 4.350 KM. Hulu sungai ini berada di Tibet, yang mengalir melalui provinsi Yunnan di China, dan beberapa negara ASEAN, yakni Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam.

 

Tapi perspektifnya akan berbeda ketika kita melihatnya dari kacamata geopolitik. Sungai ini adalah saksi sejarah panjang peradaban manusia. Perebutan kekuasaan, pembunuhan, perdagangan, tumpuan hidup, dan berbagai alasan dan peristiwa lainnya. Bahkan pada tahun 2019 lalu, lokasi “pertempuran” antara Cina dan Amerika Serikat berpindah ke Sungai Mekong ini.

 

Di beberapa titik, Cina membuat bendungan Sungai Mekong. Kepentingannya banyak, salah satunya sebagai pembangkit listrik. Sialnya bendungan ini, menurut peneliti dari barat menjadi penyebab kekeringan beberapa negara di Asia Tenggara. Klaim peneliti barat ini ditentang oleh para peneliti Cina. studi dari China merilis temuan kontroversi yang menyatakan bahwa bendungan yang dibuat Cina bukanlah masalah yang menyebabkan kekeringan bagi negara-negara hilir di sepanjang Sungai Mekong. Namun menjadi bagian dari solusi.

 

Inilah akibat dari negara atau bahkan dunia yang diatur berlandaskan asas manfaat. Bukan manfaat yang didapat, tapi malah bencana. Akan beda cerita jika pengaturannya berdasarkan syariat. Bukankah Nabi Muhammad sudah mengatakan bahwa manusia itu berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api? Individu tidak boleh memiliki ketiganya. Negara berhak menngelolanya tapi kegunaannya untuk dikembalikan ke publik. Bukan menguntungkan satu pihak tapi menindas pihak lain.

 

Dalam perjalanan, kapal merapat ke daratan sebentar. Di daratan itu ada dua kantor imigrasi. Inilah batas dua negara. Penumpang diwajibkan lapor, cap paspor di imigrasi Vietnam, lanjut ke imigrasi Kamboja. Kurang lebih setengah jam bersandar, perjalanan dilanjutkan.

 

_Cambodia I am coming._

 

Tahun sebelumnya saya bertemu muslim Kamboja yang baik hati. Tapi karena pertemuan itu hanya dilandasi dengan al quwwah al maadiyah atau sedikit al quwwah al ma’nawiyah, peristiwa itu seperti berlalu begitu saja. Kali ini, itu tak boleh terulang.

 

Dari dermaga Phnom Penh, saya tak sabar menyantap makanan lezat di Warong Bali milik kang Firdaos dan Kang Kusmin, dua warga negara Indonesia yang sudah puluhan tahun menetap di Kamboja. Makanan dari Ahmad, sudah habis sejak tadi.

 

Warong Bali berada di posisi yang sangat strategis. Pusat Kota. Tempat para turis menapaki jejak-jejaknya. Tak jauh, ada Nasional Museum. Tak Jauh ada Grand Palace. Tak Jauh ada Sungai Mekong. Tak jauh ada deretan café yang disediakan khusus untuk para backpacker. Penginapan murah pun begelimpangan di area ini.

 

Selain Warong Bali, lokasi wajib lainnya adalah Masjid Al-Sherkal yang terletak di kawasan Boeung Kak di dekat Strret 86. Ini Masjid yang begitu megah jika dibandingka dengan penduduk muslim kamboja yang hanya sedikit. Dibangun oleh salah seorang pengusaha Emirate Arab yang namanya diabadikan menjadi nama Masjid.


Tapi kehadiran saya di Kamboja kali ini tak sekadar turis. Tak sekadar mengagumi tempat-tempat yang memang layak dikagumi. Ada faktor “Why” yang membuncah dalam dada. Dan ini tak sekadar _ordinary why_, melainkan _ultimate why_. Ah, saya lebih senang menamainya dengan sebutan _al quwwah al ruhiyah_.


“Kontak, setiap kita harus melakukan kontak. Bakal menjadi istimewa jika kita mampu mengontak simpul-simpul tokoh,” begitu pesan musyrif di kampung halaman.


Via internet, saya bertemu alamat e-mail dari Cambodian Muslim Media Centre (CAMM). Ini adalah organisasi yang menjadi corong informasi tentang Islam di Kamboja. Alhamdulillah, e-mail yang saya kirim berbalas.

_wasalam Brother in Islam. Nice to hear form you and thanks for the email. It is our great pleasure to help you what we can .Insha Allah. Pls keep in touch when you are Phnom Penh. Regard, Nazy Saleh, President of CAMM_ 

 

Kami bikin janji untuk berjumpa.

 

Beliau orang yang cukup ramah. Apapun pertanyaan yang saya lontarkan, sebisa mungkin dijawabnya. Ada satu fakta mengejutkan yang saya dapatkan. Menurut Brother Saleh, orang-orang Champa terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama adalah orang-orang Champ yang sekarang tersebar di daerah dekat aliran sungai. Mereka kadang menyebut diri mereka sebagai Melayu Champ. Satu lagi adalah orang-orang Champ yang tinggal di pedalaman. Mereka Islamnya berbeda dengan kita.

 

Islamnya berbeda? Dahi saya berkerenyit.

 

Selanjutnya brother Saleh menjelaskan bahwa orang-orang di pedalaman memiliki sahadat yang berbeda. Aktivitas mereka pun mengarah kepada aktivitas sirik. Hal serupa pernah saya dengar di tahun sebelumnya. Tapi saya tak langsung percaya begitu saja. Maksud saya, bisa jadi hal yang saya dengar itu benar. Tetapi kenapa itu bisa terjadi? Bukankah pada masanya kerajaan Champa adalah sebuah kerajaan Islam yang besar bahkan bisa menyatukan beberapa wilayah di sekitarnya?

 

“Apakah ada dokumen yang bisa saya baca?” saya terus mengorek-ngorek.

 

Brother Saleh menggeleng. Ia hanya memberikan sebuah kamus Bahasa asli Champa. Selebihnya tak ada dokumen khususnya tentang sejarah Champa itu sendiri. Padahal saya sudah begitu dekat dengan mereka.

 

Brother Saleh kemudian bercerita tentang kondisi kaum muslim melayu Campa yang memprihatinkan. Hampir setiap tahun, idul adha, ada banyak pengusaha Malaysia yang datang memberikan bantuan berupa sapi, uang, pakaian, juga makanan lainnya. Dan sepertinya cerita bagian ini yang menarik baginya untuk dibicarakan. Ia berharap saya dapat membawa orang-orang kaya di Indonesia untuk juga membantu kondisi kaum muslim di Kamboja. Bahkan ia sudah siap dengan proposal program.

 

Upaya brother Saleh dan CAMPP tentu saja harus kita apresiasi. Bagaimanapun kepedulian antar muslimin harus terus terjaga. Tapi bukan itu pokok masalahnya.

 

Saya mencoba mengarahkan pembicaraan ke perkara politik. Tentang betapa lemahnya muslimin di dunia hari ini karena ketiadaan kepemimpinan. Seorang pengusaha Arab bisa membangun masjid megah di pusat kota Phnom Penh, tetapi kemiskinan orang-orang Kampong Champ terus saja berlangsung. Kita perlu persatuan yang nyata. Kita perlu Pemimpin yang satu di seluruh dunia. Inilah ultimate Why yang harus kita perjuangkan bersama.

 

Tentang dokumen yang tak dapat ditemukan, otak kepala saya menaruh curiga dengan Perancis. Ya, semenjak bagi-bagi wilayah yang dilakukan barat pasca Renaisance, kawasan asia tenggara termasuk wilayah yang menjadi bancakan mereka. Nusantara jatahnya Spanyol,  - Portugis. Nanti mereka juga berbagai dengan Belanda. Agak ke atas lagi berbagi lagi dengan Inggris. Untuk wilayah Indocina jatahnya Perancis.

 

Saya teringat perpustakaan KITLV di Leiden Belanda. Di satu sisi ada sedikit rasa senang karena ada beberapa buku saya yang menjadi koleksi KITLV. Di sisi lain, tentu saja kita harus marah besar, sebab penjajah itu dengan mudahnya membawa dokumen berharga dari tanah kita untuk kemudian dijadikan bahan mengeksploitasi negeri ini secara besar-besaran.

 

Apakah dokumen-dokumen tentang Islam, khususnya Champa di Indocina juga dibawa ke Perancis? Pertanyaan ini belum terjawab. Di tahun berikutnya, saya kembali ke Saigon. Di sana, secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang mahasiswa Jakarta yang sedang menyelesaikan tesis S2 nya tentang Islam di Indocina. Dari mahasiswa ini pun, pertanyaan saya belum terjawab. Ada informasi yang putus selama beberapa abad tentang Islam di Vietnam – Kamboja. Semoga kelak kita bisa menguaknya.

 

Berulang kali brother Saleh menekankan “semoga kapan-kapan kita bisa jumpa kembali. Semoga kaum muslimin di Kamboja bisa dibantu.” Doa tersebut saya amini. Saya katakan pula kepadanya, semoga kita bisa berjuang bersama mewujudkan persatuan kaum muslimin di bawah satu pemerintahan. Pemerintahan yang berdasarkan wahyu ilahiyah. Pemerintahan yang mengikuti metode kenabian.

 

Saya dan Brother Saleh berjabat tangan. Sebelum pulang, buku Nizhamul Islam saya berikan sebagai hadiah. Ia menghadiasi saya Al Quran dengan terjemahan Bahasa Kamboja.

 


Saya pamit pulang. Destinasi selanjutnya adalah Malaysia. Lanjut lagi ke kampong halaman.

 

Kamboja, semoga kelak kita bisa kembali jumpa. Semoga kelak kita bisa berjuang bersama.

 

_Selesai_


Posting Komentar untuk "Why Cambodia (Part 3)"